Alim ulama atau ulama adalah anggota masyarakat. Ia memiliki ilmu di bidang agama Islam. Kedudukannya di dalam masyarakat berbeda dengan penghulu (niniak mamak). Penghulu tumbuh karena ditanam, besar karena dipupuk, dan tinggi karena dianjung. Penghulu merupakan kedudukan yang turun-temurun. Ulama tidak demikian halnya. Ia bukan warisan, bukan turun-temurun.
Seorang ulama mendapat kedudukan di dalam masyarakat karena ilmunya. Bukan karena diturunkan dari mamak atau neneknya. Ia mendapat tempat karena keberadaannya dalam bidang agama. Oleh sebab itu, ia dikatakan dalam adat “ka ateh indak bapucuak, ka bawah indak baurek” jika seorang ulama meninggal, bukan kemenakannya yang menggantikan, tetapi mungkin dari suku atau kaum lain yang memiliki ilmu agam Islam.
Jadi kedudukan ulama adalah karena individunya, karena kemampuan pribadinya. Oleh karena kemampuan itu, masyarakat mememilih dan menetapkannya ke dalam deretan pemimpin di Minangkabau. Kepemimpinannya diakui, dibenarkan, dan didukung oleh masyarakatnya. Oleh kemampuannya pula, ia mendapat tempat dan kedudukan yang sejajar dengan para pemimpin lain seperti penghulu.
Siapa saja anggota masyarakat Minangkabau dapat menjadi alim ulama. Asalkan ia memenuhi syarat yang ditentukan. Salah satu syarat itu adalah memiliki pengetahuan dan ilmu yang luas tentang agama Islam. Selain itu, ilmu yang dimilikinya disebarkan kepada masyarakat secara ikhlas. Ia tidak memanfaatkan ilmunya untuk dirinya sendiri atau keluarga saja. Ia menyampaikan kepada masyarakat. Dengan syarat tersebut, keberadaannya sebagai unsur pemimpin diakui oleh masyarakat.
Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau, Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Mahmud, St. dkk 1978. Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah. Limo Kaum: Tanpa Penerbit.
Navis, A.A 1986. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pt Pustaka Garafitipers.
Penghulu, M. Rasyid Manggis Dt. Rajo. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta Mutiara.
Thaib, Darwis, glr. Dt. Sidi Bandoro. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi: NV Nusantara.
Zulkarnaini. 1994. Modul Mata Pelajaran Muatan Lokal SLTP Terbuka. Jakarta: Depdikbud, Proyek Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan Wajib Belajar SLTP.
Ramayulis, dkk. Buku Mata Pelajaran Muatan Lokal tentang Sejarah Kebudayaan Minangkabau pada SD, SLTP, SLTA di Sumatera Barat. Padang: Tanpa Tahun, Tanpa Penerbit.
Penghulu, H. Idrus Hakimy Dt. Rajo. 1984. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV.
Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Tuah, H.Datoek, tt. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.
Image: files.wordpress.com
Seorang ulama mendapat kedudukan di dalam masyarakat karena ilmunya. Bukan karena diturunkan dari mamak atau neneknya. Ia mendapat tempat karena keberadaannya dalam bidang agama. Oleh sebab itu, ia dikatakan dalam adat “ka ateh indak bapucuak, ka bawah indak baurek” jika seorang ulama meninggal, bukan kemenakannya yang menggantikan, tetapi mungkin dari suku atau kaum lain yang memiliki ilmu agam Islam.
Jadi kedudukan ulama adalah karena individunya, karena kemampuan pribadinya. Oleh karena kemampuan itu, masyarakat mememilih dan menetapkannya ke dalam deretan pemimpin di Minangkabau. Kepemimpinannya diakui, dibenarkan, dan didukung oleh masyarakatnya. Oleh kemampuannya pula, ia mendapat tempat dan kedudukan yang sejajar dengan para pemimpin lain seperti penghulu.
Siapa saja anggota masyarakat Minangkabau dapat menjadi alim ulama. Asalkan ia memenuhi syarat yang ditentukan. Salah satu syarat itu adalah memiliki pengetahuan dan ilmu yang luas tentang agama Islam. Selain itu, ilmu yang dimilikinya disebarkan kepada masyarakat secara ikhlas. Ia tidak memanfaatkan ilmunya untuk dirinya sendiri atau keluarga saja. Ia menyampaikan kepada masyarakat. Dengan syarat tersebut, keberadaannya sebagai unsur pemimpin diakui oleh masyarakat.
Sumber Referensi:
Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau, Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Mahmud, St. dkk 1978. Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah. Limo Kaum: Tanpa Penerbit.
Navis, A.A 1986. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pt Pustaka Garafitipers.
Penghulu, M. Rasyid Manggis Dt. Rajo. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta Mutiara.
Thaib, Darwis, glr. Dt. Sidi Bandoro. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi: NV Nusantara.
Zulkarnaini. 1994. Modul Mata Pelajaran Muatan Lokal SLTP Terbuka. Jakarta: Depdikbud, Proyek Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan Wajib Belajar SLTP.
Ramayulis, dkk. Buku Mata Pelajaran Muatan Lokal tentang Sejarah Kebudayaan Minangkabau pada SD, SLTP, SLTA di Sumatera Barat. Padang: Tanpa Tahun, Tanpa Penerbit.
Penghulu, H. Idrus Hakimy Dt. Rajo. 1984. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV.
Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Tuah, H.Datoek, tt. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.
Image: files.wordpress.com